Saturday 23 January 2010

Kurikulum dan Pengajaran dalam Pemikiran Fazlur Rahman

Dalam bukunya Islam Rahman mengatakan bahwa: dengan menyempitnya lapangan ilmu pengetahuan umum melalui tiadanya pemikiran umum dan sains-sains kealaman, maka kurikulum dengan dengan sendiri menjadi terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan murni dan kesusasteraan sebagai alat-alatnya yang memang diperlukan.


Sebagian dari penjelasan mengenai kemerosotan gradual standar-standar akademis selama berabad-abad tentunya terletak pada fakta bahwa, karena jumlah buku-buku yang tercantum dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi si murid untuk bisa menguasai bahan-bahan yang ‘kenyal’ dan seringkali sulit dipahami mengenai segi-segi tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang. Ini jadi lebih mendorong hapalan daripada pemahaman yang sebenarnya.


Pada masa abad pertengahan, kurikulum yang ditekankan hanyalah pada ilmu-ilmu agama yang pada masanya mendominasi dunia pendidikan Islam, yaitu pendidikan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, Hadits, dan Fiqh. Dalam hal ini bahwa ilmu non agama mutlak tidak diajarkan. Tidak sedikit umat Islam yang terbelenggu pemikirannya dengan paham bahwa ilmu-ilmu yang dikejar hanyalah ilmu agama. Akan tetapi karena keterbatasan buku yang dimiliki dalam kurikulum, maka bahan yang dikuasai peserta didik relatif sulit. Dalam hal ini kurikulum dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan.


Meskipun kurikulum madrasah tidak selalu sama sepanjang periode sejarah Islam, dan juga tidak di seluruh bagian dunia Islam, ada aturan umum ideal yang tetap merupakan latar belakang dan yang sering dituruti, terutama di sekolah-sekolah, tempat mengajarkan sains filosofis dan awa’il.


Kemunduran dan kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran pada masa ini, nampak jelas dalam sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran pada umumnya madrasah-madrasah yang ada. Dengan telah menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum, dengan tiadanya perhatian kepada ilmu-ilmu kealaman, maka kurikulum pada umumnya madrasah-madrasah terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan, ditambah dengan sedikit gramatika dan bahasa sebagai alat yang diperlukan. Ilmu-ilmu keagamaan yang murni tinggal terdiri dari: Al-Qur’an, Hadits, Fiqh dan ilmu kalam atau teologi Islam. Bahkan di madrasah-madrasah tertentu ilmu kalampun dicurigai, dan di madrasah yang diurus oleh kaum sufi yang memang tersebar luas di negara-negara Islam pada masa itu ditambah dengan pendidikan sufi.


Oleh karena itu perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini dapat dikatakan macet total. Tidak ada buku-buku yang dihasilkan paling-paling hanyalah berupa komentar dari buku-buku yang telah ada dan bahkan komentar dari komentar. Dalam hal ini Fazlur Rahman menulis sebagai berikut:


Kebiasaan menulis komentar-komentar yang sistematis, pada mulanya, selalu disertai dengan penulisan-penulisan karya-karya asli.pada abad ke-6 H/ 12 M misalnya, Fakhrudin al-Razi menulis sebuah komentar atas karya Ibnu Sina, tetapi juga mengarang beberapa karya yang independen. Tetapi dikemudian hari berkembanglah kebiasaan untuk menulis komentar diatas komentar, hingga karya yang asli yang menjadi subyek komentar tersebut hampir sama sekali terlupakan. Komentar-komentar yang terkemudian bahkan menjadi catatan-catatan pinggir saja, dan biasanya menyangkut perbedaan-perbedaan pendapat yang superfisial dan perbedaan-perbedaan verbal saja. Ini semua, bersama dengan ringkasan-ringkasan yang singkat membentuk kurikulum madrasah.


Lebih lanjut Fazlur Rahman menjelaskan tentang proses dan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran pada masa itu sebagai berikut:


Biasanya, kurikulum dilaksanakan atas metode urutan mata pelajaran. Jadi, sebagai contoh urutan tersebut misalnya: bahasa dan tatabahasa arab, kesusasteraan, ilmu hitung, filsafat, hukum, yurisprudensi, teologi, tafsir Al-Qur’an, dan Hadits. Si murid melewati kelas demi kelas dengan menyelesaikan satu matapelajaran dan memulai lagi satu matapelajaran yang “lebih tinggi”. Dengan sendirinya sistem ini tidak memberikan banyak waktu untuk setiap matapelajaran. Tetapi ini juga bukanlah satu-satunya metode yang dipakai, seringkali seorang murid mulai dengan satu ringkasan dengan detail-detail yang terperinci dan disertai komentar-komentar. Tugas guru adalah mengajarkan komentar-komentar orang lain, di samping teks aslinya, dan biasanya tanpa menyertakan komentarnya sendiri dalam pelajaran tersebut. Tambahan lagi, tidak ada persesuaian pendapat tentang matapelajaran-matapelajaran mana yang “lebih tinggi” dari yang lain.


Kebekuan intelektual dalam kehidupan kaum muslimin yang diwarnai dengan berkembangnya berbagai macam aliran sufi yang karena terlalu toleran terhadap ajaran mistik yang berasal dari agama lain, telah memunculkan berbagai macam tariqat-tariqat tersebut dalam perkembangannya dan dalam penerimaan masyarakat menjadi semacam agama populer (populer religion).


Pada tahun-tahun belakangan jelasnya setelah Perang Dunia II, sarjana-sarjana muslim telah membuat kemajuan-kemajuan penting dalam memahami perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang masa klasik Islam dengan penerjemahan dan penulisan komentar-komentar atas sejumlah besar manuskrip dari perode ini.


Misalnya, madrasah Nizam al-Mulk yang hanya mengkhususkan diri pada pengembangan ilmu-ilmu agama di awal abad ke-12 bisa dilihat sebagai kemajuan dibidang pendidikan agama tetapi dilain pihak bisa juga dilihat sebagai kemunduran peradaban Islam (Islamic Civilization) karena non Islamic Knowledge sudah tidak menjadi perhatian lagi dalam dunia pendidikan Islam. Jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa madrasah Nidzamiyah yang dikotomik ini benar-benar menjadi model pendidikan madrasah pada masa klasik dan pertengahan Islam.


Kasus-kasus istimewa lain dari cara belajar ekstra-madrasah seperti itu tidaklah jarang. Tetapi kelemahan mendasar dari ilmu pengetahuan Islam, sebagimana halnya juga semua ilmu pengetahuan pra-modern adalah konsepnya tentang ilmu pengetahuan. Belawanan dengan sikap modern yang mendorong ilmu pegetahuan sebagai sesuatu yang pada intinya harus dicari dan ditemukan oleh pikiran yang memegang peranan aktif di dalamnya, maka sikap zaman pertengahan adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang harus diperoleh. Sikap seperti itu lebih bersifat pasif dan nrimo daripada kreatif dan positif.


Pada abad pertengahan seorang siswa yang telah mendapatkan pendidikan keagamaan dasar, mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Karena pada masa itu yang ditekankan adalah ilmu-ilmu agama. Namun perlu kiranya jika suatu ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang harus diperoleh. Seperti halnya dalam ucapan Rasul “tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang kubur” dan “tuntutlah ilmu walaupun ke negeri Cina”. Hal ini bergema sepanjang abad sebagai dasar paling wibawa untuk mengajarkan dan menyebarkan ilmu.


Namun dalam hal ini pengertian ilmu yang dimaksud Rasul menjadi sebuah perdebatan, yaitu antara ilmu mana yang dikatakan penting. Akan tetapi, apapun alasan yang muncul bagi penentuan ilmu yang menututnya dijadikan tugas agama. Karena, bahwa menuntut ilmu atau belajar adalah wajib dan belajar tidak bisa dipisahkan dari agama. Bahkan sering dikatan bahwa ilmu agama tanpa ilmu pengetahuan adalah pincang sedangkan ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta.

No comments:

Post a Comment