Friday 18 December 2009

Kurikulum dan Pengajaran dalam Pendidikan Islam

Dengan menyempitnya lapangan ilmu pengetahuan umum melalui tiadanya pemikiran umum dan sains-sains kealaman, maka kurikulum dengan sendirinya menjadi terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan murni dengan gramatika dan kesusasteraan sebagai alat-alatnya yang memang diperlukan. Mengenai kemerosotan gradual standar akademis selama berabad-abad tentunya terletak pada fakta bahwa karena jumlah buku yang tercantum dalam kurikulum sedikit sekali, maka yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi murid untuk bisa menguasai bahan-bahan yang sulit mengenai segi-segi tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang.

Biasanya, kurikulum dilaksanakan atas metode pelajaran. Dengan sendirinya sistem ini tidak memberikan banyak waktu untuk setiap mata pelajaran. Namun metode tersebut bukanlah satu-satuya yang dipakai. Seringkali seorang murid mulai dengan suatu ringkasan dalam sebuah mata pelajaran, dan di kelas selanjutnya ia mempelajari pelajaran dengan detail-detail yang lebih terperinci dan disertai komentar-komentar. Tugas guru adalah mengajarkan komentar-komentarnya sendiri dalam pelajaran tersebut.

Pada abad pertengahan, setelah memperoleh pendidikan keagamaan dasar, seorang murid dapat memasuki lembaga pendidikan lebih tinggi yang manapun juga. Akan tetapi, kelemahan mendasar dari ilmu pengetahuan Islam, sebagaimana juga semua ilmu pengetahuan pra-modern, adalah konsepnya tentang ilmu pengetahuan. Berlawanan dengan sikap modern yang memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang pada intinya harus dicari dan ditemukan oleh pikiran yang memegang peranan aktif di dalamnya, maka sikap zaman pertengahan menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang harus diperoleh.

Semenetara orang mungkin dapat dibenarkan bila berbicara tentang kekakuan disiplin-disiplin keagamaan dan orientasi umum pendidikan madrasah terhadap kepentingan-kepentingan agama tersebut, namun lapangan pendidikan pada waktu itu secara keseluruhannya adalah jauh dari kaku, karena itu, sistem madrasah tidaklah mewakili keseluruhan pendidikan Islam.

Pada masa abad ke 10, kurikulum yang ditekankan hanyalah pada ilmu-ilmu agama, yang pada masanya mendominasi dunia pendidikan Islam, yaitu pendidikan yang berhubungan dengan Al Qur’an, Hadits dan Fiqh. Dalam hal ini berarti bahwa ilmu non agama mutlak tidak diajarkan. Tidak sedikit umat Islam yang terbelenggu pemikirannya dengan paham bahwa ilmu-ilmu yang dikejar hanyalah ilmu agama. Akan tetapi karena keterbatasan buku yang dimiliki dalam kurikulum, maka bahan yang dikuasai peserta didik relatif sulit. Dalam hal ini kurikulum dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan

Jika kurikulum dilaksanakan tidak berdasarkan urutan mata pelajaran maka mengakibatkan kekacauan pikiran yang disebabkan oleh pengajaran yang lebih dari satu pelajaran dalam waktu yang bersamaan. Untuk itu pencari ilmu atau murid, harus bisa mengembara dari satu sekolah ke sekolah lain, dari seorang pengajar satu ke pengajar berikutnya, dia akan mendapatkan ilmu jika ia berusaha cukup keras.dari sini, guru mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar mengajar. Memang, Penyampaian ilmu selalu punya aspek sangat pribadi, dengan cara lebih mencari seorang pengajar tertentu bukannya suatu perguruan dan ia menyerahkan diri sepenuh hatinya kepada guru pilihannya itu.

Di abad pertengahan seorang siswa yang mendapatkan pendidikan keagamaan dasar, mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Karena pada masa itu yang ditekankan adalah ilmu-ilmu agama. Namun perlu kiranya jika suatu ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang harus diperoleh. Seperti halnya dalam ucapan rasul “Tuntutlah ilmu dari buaian hinga liang kubur” dan “Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri Cina”. Hal ini berguna sepanjang abad sebagai dasar paling berwibawa untuk mengajarkan dan menyebarkan ilmu.

Namun dalam hal ini pengertian ilmu yang dimaksud rasul menjadi sebuah perdebatan, yaitu antara ilmu mana yang dikatakan penting. Akan tetapi, apapun alasan yang muncul bagi penentuan ilmu, yang menuntutnya dijadikan tugas agama. Karena, bahwa menuntut ilmu atau belajar adalah wajib dan belajar tidak bisa dipisahkan dari agama. Bahwa sering dikatakan ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta sedangkan agama tanpa ilmu pengetahuan adalah pincang.

Telah dikatakan bahwa madrasah tidaklah mewakili keseluruhan pendidikan Islam, karena pada masa itu ciri madrasah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan yang minus terhadap pengetahuan umum. Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa madrasah adalah pendidikan dikotomik yang benar-benar menjadi model pendidikan madrasah pada masa klasik dan pertengahan Islam.

No comments:

Post a Comment